Senin, 03 November 2014

Sejarah Berdiri dan Perkembangan Pondok Pesantren


Sejarah Berdiri dan Perkembangan Pondok Pesantren

MAKALAH
 
Disusun Guna Memenuhi: Tugas
Mata Kuliah : Manajemen Pendidikan Diniyah dan Pesantren
Dosen Pengampu : Dr. H. Fatah Syukur NC, M.Ag



 buto


DisusunOleh:

Maulana Arif Dzikrullah     (133311080)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2014
  1. PENDAHULUAN
Fenomena lembaga pendidikan pondok pesantren sangat menarik, karena pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia. meskipun di daerah lain seperti Aceh atau Sumatera Barat menggunakan istilah lain untuk menyebut pondok pesantren, tetapi esensinya sama. Jika ada lembaga survey yang menghitung seluruh pondok pesantren se-Indonesia mungkin ada beribu-ribu pondok pesantren, karena biasanya dalam satu desa ada lebih dari satu pondok pesantren. Seperti di Desa Air Emas, Singingi, Kuantan Singingi, Riau, ada dua lembaga pendidikan pondok pesantren yakni Pondok Pesantren Bahrul Ulum dan Pondok Pesantren Rodhotut Tholibin. Oleh sebab itu tidak afdol jika seorang mahasiswa tidak mengetahui sejarah pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia.
  1. RUMUSAN MASALAH
  2. Bagaimana Definisi Pondok Pesantren?
  3. Bagaimana Sejarah Pondok Pesantren?
  4. Bagaimana Perkembangan Pondok Pesantren?
  5. Apa Peranan Pondok Pesantren?
  • PEMBAHASAN
  1. Definisi Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan di Indonesia. Jenis lembaga pendidikan ini dapat dijumpai diberbagai wilayah Indonesia. Tidak heran jika lembaga pendidikan ini memiliki beberapa sebutan lain. Di Sumatera barat disebut ‘surau’ sementara di Aceh disebut ‘dayah’ atau ‘meunasah’. Sebutan pesantren atau pondok pesantren pada mulanya hanya berlaku di Jawa, meskipun sekarang ini sudah menjadi nomenklatur paling umum. Penting diungkapkan bahwa sebagai lembaga pendidikan keislaman tradisional, pesantren juga di temukan wilayah Asia Tenggara. Di Thailand dan Malaysia untuk menyebut contoh lembaga pendidikan disebut pondok, Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari funduq (Arab) yang berarti ruang tidur, wisma, atau hotel sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya.[1]
Pesantren berasal dari santri, yang berarti “terpelajar” (learned) atau “ulama” (scholar). Jika santri menunjuk pada murid, maka pesantren menunjuk kepada lembaga pendidikan. Jadi, pesantren adalah tempat belajar bagi para santri. Pesantren disebut juga ‘pondok pesantren’. Kedua sebutan ini sering kali digunakan secara bergantian dengan pengertian yang sama. Menurut Greetz, pengertian pesantren diturunkan dari bahasa India Shastri yang berarti ilmuan Hindu yang pandai menulis, maksudnya adalah pesantren tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis. Greetz menanggap bahwa pesantren dimodifikasi dari pura Hindu.[2]Kamus besar bahasa Indonesia menyebut ‘pondok’ dan ‘pesantren’ dengan pengertian sama, yaitu “asrama dan tempat murid-murid belajar mengaji’. Pendeknya, kedua sebutan tersebut mengandung arti lembaga pendidikan islam yang didalamnya terdapat unsur-unsur ‘kiai’ (pemilik sekaligus guru), ‘santri’ (murid), ‘masjid’ atau mushalla’ (tempat belajar), asrama (penginapan santri, dan kitab-kitab klasik Islam (bahan pelajaran).[3]
Pesantren merupakan pendidikan Islam tertua di Indonesia. Kendatipun sejarah tidak mencatat secara pasti, kapan munculnya pesantren pertama kali di Indonesia, namun paling tidak lembaga ‘pesantren’ telah ada ketika masa walisongo, sekitar abad 16-17 M., misalnya sebuah pesantren yang didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Disamping itu juga ada keterangan bahwa setelah raden Patah berguru kepada sunan Ampel, kemudian ditugaskan menuju Glagah Wangi untuk mendirikan perguruan islam atau pesantren. Namun sejauh ini belum terdapat keterangan yang pasti tentang bagaimana bentuk pesantren yang ada pada waktu itu.[4]
  1. Sejarah Pondok Pesantren
Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana.Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai.Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal kemana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.
Tidak bisa dipungkiri pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia, meskipun masih banyak perbedaan pendapat tentang kapan munculnya pondok pesanten tersebut.
Hasil studi Ronald Alan Lukens Bull (1977), doctor yang menekuni studi pondok pesantren asal Amerika, menunjukan bahwa sebagai lembaga pendidikan islam, pondok pesantren pertama kali dirintis oleh syaikh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M untuk menyebarkan islam di Jawa. Selanjutnya, dia menelusuri bahwa tokoh yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Pertama kali didirikan pondok pesantren di kembangkuning dan waktu itu hanya memiliki tiga orang santri, yaitu : Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kiai Bangkuning. Setelah itu pindah ke Ampel Denta Surabaya dan mendirikan pondok pesantren, sehingga akhirnya dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Selanjutnya , muncul pondok pesantren baru yang didirikan oleh para santri dan putranya, seperti pondok pesantren Giri oleh Sunan Giri, Pondok Pesantren Demak Oleh Raden Patah, dan Pondok Pesantren Tuban oleh sunan Bonang.[5]
Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan sekomplek sekarang. Pada masa awal, pesantren hanya berfungsi sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni: ibadah untuk menanamkan iman, tablig untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan sehari-hari.
Pesantren diperkirakan mengalami pertumbuhan pesat sebagai lembaga pendidikan pada abad ke-19. Perkiraan ini didukung oleh dua informasi beriut. Pertama, inspeksi pendidikan untuk pribumi oleh belanda pada 1873 menyebutkan jumlah pesantren yang cukup besar, yaitu berkisar pada angka 20.000 sampai 25.000 dengan jumlah santri sekitar 300.000 orang. Melihat besarnya jumlah pesantren tersebut tampaknya pendataan mencakup semua tempat pembelajaraan, baik itu pesantren, nggon ngaji, mushalla, dan sebgainya. Namun lepas dari akurasi angka tersebut, kiranya dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu pesantren telah terkonsolidasi sebagai lembaga pendidikan Islam. Kedua, “catatan perjalanan” Snock Hurgronje pada abad ke-19 di beberapa wilayah Indonesia. Catatan itu mengkorfirmasi adanya sejumlah pesantren yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Snouck Hurgronje antara lain mengunjungi Garut di Jawa Barat dan mencatat Pesantren Caringin (Haji Muhammad Rafi’i), pesantren Sukaregang (Kiai Adrangi), dan pesantren Kiara Koneng (Haji Muallim). Daerah lain di Jawa Barat dalah Cianjur, Bandung, Bogor, Cirebon dan beberapa wilayah lain. Catatan perjalanan ini juga merekam pesantren di berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Souck Hurgronje menemukan kenyataan bahwa sebagian pimpinan pesantren pernah menuntut ilmu di Mekkah.[6]
Pesantren tidak mengenal sistem kelas. Tingkatan seorang santri diukur dari jenis kitab yang dipelajari dan bidang-bidang keilmuan yang dikaji. Biasanya kitab-kitab tasawuf menjadi tolok ukur senioritas santri. Mahmud Yunus memerinci tingkatan pesantren pada zaman kerajaan Mataram masa Sultan Agung kedalam empat kelompok besar. Pertama, pengajian di tingkat desa yang hanya mengajarkan baca tulis huruf arab, dan beberapa bagian al-Quran (juz amma). Kedua, pesantren dasar yang menajarkan kitab-kitab elemneter. Ketiga, pesantren menengah yang menawarkan kajian-kajian lebih luas. Keempat, dan pesantren takhassus yang menawarkan kajian tingkat tinggi.
Dalam sistem pembelajaran pesantren, kitab-kitab elementer, khususnya untuk “ilmu-ilmu alat” (nahwu dan shorof), harus dipelajari terlebih dahulu sebelum meningkat pada bidang-bidang keilmuan lain seperti tafsir Al-Quran, Hadis, dan Fiqh. Tasawuf yang sering dikaitkan dengan tarekat tertentu, biasanya dipelajari pada tahap akhir. Pelajaran tentang “ilmu-ilmu alat” biasanya dikombinasikan dengan kajian-kajian lain, khususnya fiqh, yang sekaligus dijadikan sebagai media untuk mempratikan kemampuan gramatikal yang dimiliki seorang santri.
Meskipun menganut penjenjangan berdasarkan kajian-kajian yang dilakukan, pesantren tidak memberikan batas waktu tentang seberapa lama seorang santri dapat dinyatakan tamat belajar. Terkadang seorang santri, setelah mempelajari beberapa kitab saja di sebuah pesantren, kemudian pindah ke pesantren lain, atau pulang ke kampung halaman. Tidak jarang seorang santri merasa perlu menghabiskan sebagian besar usianya untuk belajar di pesantren tertentu. Kebiasaan berpendah-pindah pesantren bukan merupakan tradisi buruk dalam konteks pendidikan pesantren. Sebaliknya, ini merupakan salah satu manisfestasi konsep rihlah ilmiyyah (perjalanan mencari ilmu di lingkungan tradisi pembelajaran islam yang dimungkinkan oleh karakter pesantren itu sendiri. Seorang kiai pemimpin pesantren tertentu biasanya memiliki keahlian tertentu dalam bidang keilmuan islam, seperti fiqh, hadis atau tafsir Al-Qura’an. Dalam konteks pindah-pindanya santri itulah kemudian dikenal santri kelana. Pada periode ini , pesantren tidak menerapkan sistem kelas, sistem ujian, dan tidak memberikan ijazah.
Metode pembelajaran di pesantren biasanya menggunakan metode bandongan dan sorogan. Bandongan atau seringkali disebut weton sekelompok santri mendengarkan kiai membaca, menterjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab berbahasa arab. Santri menyimak dan Ma’nani (menulis arti dibawah kata-kata dalam kitab yang sedang dibaca oleh kiai). Karena sifatnya yang seringkali massal, dalam metode ini, santri tidak dituntut untuk memahami dan menguasai penjelasan kiai. Bandongan sering kali di lakukan pada saat bulan ramadhan dengan mengkaji beberapa kitab klasik dengan cepat (kilat). Sorogan , dalam metode ini seorang santri akan membaca kitab tertentu dihadapan kiai. Sementara itu kiai hanya akan memberikan koreksi yang bersifat mendasar dan memberikan petunjuknya, khususnya berkaitan dengan cara membaca dan memahami teks secara benar sesuai dengan struktur bahasa arab. Dalam kerangka sorogan ini secara tidak langsung, pesantren menanamkan semangat untuk belajar secara mandiri kepada santrinya.
Di samping itu, Musyawarah (diskusi) juga sering digunakan sebagai metode penting di pesantren. Kiai atau santri senior memimpin ‘kelas musyawarah’ seperti dalam suatu seminar; proses pembelajaran banyak dilakukan dalam bentuk Tanya jawab. Ini merupakan sarana latihan bagi para santri untuk menguji keterampilanya dalam memahami sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab islam klasik.[7] Tradisi Btsul Masail di lingkungan NU yang berlangsung hingga sekarang ini, mirip pembelajaran musyawarah yang berlangsung di pesantren. Didalam batsul masail setiap peserta berusaha mengembangkan argument-argumen yang berbasis kepada kitab-kitab klasik Islam untuk memecahkan masalah actual yang muncul dimasyarakat.
Komponen utama pondok pesantren adalah: Kiai, Santri, mushalla/Masjid, Pondok (sebagai tempat istirahat) kitab-kitab islam klasik (kitab kuning).
Kiai dikenal sebagai guru atau pendidik utama di pondok pesantren, karena kiailah yang selalu memberikan bimbingan, pengarahan, dan pendidikan kepada para santri. Kiai pulalah yang dijadikan figur ideal santri dalam proses pengembangan diri. Pendidik lainya, yang biasa berstatus sebagai pembantu, dikenal dengan istilah ustadz atau santri senior. Kiai, dalam pengertiam umum, adalah pendiri pondok pesantren yang sebagai muslim terpelajar telah membaktikan hidupnya demi Allah, menyebarluaskan serta memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan islam melalui kegiatan pendidikan.
Santri, adalah peserta didik yang belajar atau menutut ilmu di pondok pesantren. Jumlah santri biasanya menjadi tolok ukur perkembangan pondok pesantren. Manfred Ziemek (1986), membedakan santri menjadi dua, yakni: santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah santri yang bertempat tinggal di pondok pesantren, sedang santri kalong adalah santri yang tinggal di luar pondok pesantren dan yang mengunjungi pondok pesantren secara teratur untuk belajar agama. Termasuk dala kategori ini adalah mereka yang mengaji di langgar-langgar atau masjid-masjid pada malam hari saja, sementara pada siang hari mereka pulang rumah.
Masjid, adalah sebagi unsure yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren serta dianggap sebagai tempat yang paling strategis untuk mendidik para santri, misalnya dalam praktik salat berjamaah lima waktu, khutbah, sembahyang jum’at, dan pengajian-pengajian kitab klasik.
Kitab-kitab Islam klasik, terutama karangan ulama syafi’iyah, merupakan satu-satunya teks pengajaran formal yang diberikan di lingkungan pondok pesantren. Tujuan utama pengajaran kitab ini adalah untuk mendidik calon-calon ulama.[8]
  1. Perkembangan Pondok Pesantren
Pondok pesantren pada mulanya hanya mengkaji ilmu-ilmu agama saja. Seiring perkembangan pendidikan di Indonesia, yang mewajibkan belajar hingga Sembilan tahun (SD-SMP) pondok pesantren mulai mendirikan lembaga-lembaga pendidikan formal, tujuanya adalah agar para santri bisa mengikuti perkembangan zaman. Akan tetapi masih banyak juga pesantren yang hanya mempelajari ilmu-ilmu agama (salaf). Dibawah ini akan dijelaskan mengenai pesantren salah dan khalaf (modern).
Pesantren Salaf
Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salafi. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja untuk kyai mereka – bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya – dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut.Sebagian besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustadz mereka untuk memperdalam pelajaran agama dan al-Qur’an.
Menurut Zamakhasyari Dhofier, pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (salaf) sebagai inti pendidikan. Sedangkan system madrasah ditetapkan hanya untuk memudahkan system sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
System pengajaran pesantren salaf memang lebih sering menerapkan model sorogan dan weton. istilah weton berasal dari bahasa jawa yang berarti waktu. Disebut demikian karena pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu, biasanya dilakukan sesudah melakukan salat fardhu.
System weton atau yang juga dikenal dengan sebutan bandongan adalah model pengajian yang dilakukan seperti kuliah terbuka yang diikuti oleh sekelompok santri. Sang kiai membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan sekaligus mengulas kitab-kitab salaf berbahasa arab yang menjadi acuanya. Sedangkan para santri mendengar dan memperhatikan kitabnya sambil menulis arti dan keterangan tentang kata-kata atau pemikiran yang sukar.
Termasuk dalam kelompok system bandongan atau weton ini adalah halaqoh, yaitu model pengajian yang umumnya dilakukan dengan cara mengitari gurunya. Para santri duduk melingkar untuk mempelajari dan mendiskusikan suatu masalah tertentu dibawah bimbingan seorang guru.
Sedangkan pada system sorogan, para santri maju satu persatu untuk membaca dan mengurai isi kitab dihadapan seorang guru atau kiai. System ini sangat bagus untu mempercepat sekaligus mengevaluasi penguasaan santri terhadap kandungan kitab yang dikaji. Akan tetapi system ini membutuhkan kesabaran, ketekunan, ketaatan, dan kedisiplinan yang tinggi dari para santri.
Selain dua system tersebut, pesantren salaf juga kerap menggunakan model musyawarah. Biasanya materi sudah ditentukan lebih dulu dan para santri dituntut menguasai kitab-kitab rujukan. Kiai memimpin kelas musyawarah sebagaimana moderator memandu seminar. Model seperti ini lebih bersifat dialogis, sehingga umumnya hanya diikuti oleh para santri senior. Tujuanya untuk melatih dan menguji kemampuan dan keterampilan para santri dalam menangkap dan memahami sumber-sumber argumentasi dan kitab-kitab islam klasik (kitab kuning).
Akan tetapi dewasa ini kalangan pesantren termasuk pesantren salaf mulai menerapkan system madrasati atau model klasikal. Kelas-kelas dibentuk secara berjenjang dengan tetap memakai kurikulum dan materi pelajaran dari kitab-kitab kuning, dilengkapi pelatihan keterampilan seperti menjahit, mengetik, budidaya jamur, dan bertukang.
Kurikulum system madrasati pesantren salaf masih sangat umum, tidak dirumuskan secara jelas dan terperinci. Akan tetapi yang jelas, semua pelajaran tersebut telah mencakup segala aspek perbuatan santri dalam sehari semalam. Kurikulum yang berhubungan dengan materi pengajian berkisar pada ilmu-ilmu agama dengan segala bidangnya, terutama pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa Arab (nawu, sharaf, dan ilmu-ilmu lainya), ilmu yang berhubungan dengan syariat (ilmu fikih ibadah dan muamalah), ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an beserta tafsiran-tafsiranya, hadist dengan musthalahnya, dan ilmu tauhid. Terkadang dilengkapi pula dengan ilmu mantiq (logika), tarikh (sejarah, dan tasawuf untuk para santri senior.
Kendati demikian, tidak berarti ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan di pesantren-peantren sama dan seragam. Pada umumnya, setiap pesantren mempunyai penekanan atau cirri-ciri tersendiri dalam hal ilmu-ilmu yang diberikan.
Dari sisi kelembagaan dan status pesantren, semua bangunan yang berada di lokasi pesantren umumnya adalah milik kiai. Kiai adalah pemilik dan penguasa tunggal di pesantren. Beliaulah yang menentukan segala kebijakan yang berlaku didalamnya. Para ustadz dan pembantu lainya berkedudukan sebagai tenaga operasional.
Oleh karena itu, kiai mempunyai kedudukan khusus. Ini karena dalam pesantren salaf, segala bangunan pesantren dan pembiayaan pesantren memang didanai dari uang pribadi kiai. Dialah yang mendirikan, membangun, dan menghidupi jalanya kegiatan pesantren. Sehingga wajar bila kiai mempunya pengaruh dan kekuasaan yang besar atas pesantrenya. Sebagaimana kita lihat dalam sebuah perusahaan penanam saham terbanyak adalah yang paling menentukan kebijakan perusahaan.
Pesantren Khalaf (Pesantren Modern)
Pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang memasukan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMU, dan bahkan perguruan tinggi dalam lingkunganya.
Akan tetapi, tidak berarti pesantren khalaf meninggalkan system salaf. Ternyata hampir semua pesantren modern tetap menggunakan system salaf dipondoknya. Misalnya,Pondok Pesantren “Bahrul Ulum”, Tambakberas. Pesantren ini menyelenggarakan pendidikan formal yakni Madrasah Al-Qur’an hingga Muallimin-Muallimat, dan dari SMP hingga Universitas Bahrul Ulum. Akan tetapi di lingkungan pondoknya masih menerapkan system salaf. Setiap selesai menuniakan shalat wajib, para santri menelaah kitab Nihayatuz-Zain, Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Fathul Wahhab, Fathul Mu’in, Tafsir Munir, dan sebagainya dengan system weton atau sorogan.
Dibandingkan dengan pesantren salaf, pesantren khalaf mengantongi satu nilai plus karena lebih lengkap materi pendidikanya yang meliputi pendidikan agama dan umum. Para santri pesantren khalaf diharapkan lebih mampu memahami aspek-aspek keagama dan keduniaan agar dapat menyesuaikan diri secara lebih baik dengan kehidupan modern daripada alumni salaf.
Meskipun begitu, hendaklah jangan diartikan bahwa pesantren khalaf lebih bermutu daripada pesantren salaf. Ini karena dengan masuknya ilmu-ilmu umum dan berbagai keterampilan ke pesantren, bila tidak waspada, identitas asli pesantren sebagai lembaga pencetak ulama serta pengembang, penyebar, dan pelestari ajaran-ajaran islam akan memudar. Kegiatan pendalaman ajaran islam akan tergeser oleh kegiatan-kegiatan lain yang sebenarnya lebih cocok dilakukan oleh lembaga lain. Dikhawatirkan pada akhirnya pesantren tidak berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan umum. Bila hal itu sampai terjadi, maka pesantren yang memasukan ilmu-ilmu umum dan berbagai keterampilan akan rugi dan tidak dipandang lagi oleh masyarakat.
Kondisi pesantren salaf dan khalaf di Indonesia berbeda dengan pesantren di Negara-negara islam yang lain. Misalnya di mekkah dan madinah, syekh (kiai) menetap di kota dan mengajarkan ilmu-ilmu agama di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Para santri yang dating dari jauh menetap di koloni-koloni atau menyewa tempat tinggal di dekat gurunya, yang biasanya memang tersedia cukup banyak. Begitu pula di al-Azhar, Kairo, Mesir. Berbeda dengan pesantren, al-Azhar bermula dar system pendidikan masjid tradisional. Pemerintah memegang inisiatif penting dalam pembangunan lembaga pendidikan al-Azhar, tetapi kemudian menjadi instansi milik masyarakat sepenuhnya.
Pentingya pondok pesantren sebagai asrama para santri bergantung pada jumlah santri yang dating dari daerah jauh. Pada pesantren kecil, yang kebanyakan santrinya tidak berasal dari daerah jauh, banyak santri yang menetap di rumahnya sendiri. Mereka menggunakan pesantren untuk belajar aatu kegiatan lain yang terkait. Sedangkan di pesantrren besar seperti Pesantren Tambakberas Jombang, para santri tidak boleh menetap di luar komplek pesantren, kecuali yang berasal dari desa-desa sekitarnya. Alasanya , agar kiai dapat mengawasi dan menguasai mereka secara mutlak. Ini karena kiai tidak hanya berfungsi sebagai guru yang mentransfer ilmu, tetapi juga pengganti orang tua yang bertanggung jawab terhadap pembinaan perilaku dan moral santri.[9]
  1. Peranan Pondok Pesantren
Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam.Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kekinan masyarakat (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.[10] Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.
  1. KESIMPULAN
pesantren adalah tempat belajar bagi para santri. pesantren pertama kali dirintis oleh syaikh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M untuk menyebarkan islam di Jawa. Selanjutnya, dia menelusuri bahwa tokoh yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Karena perkembangan zaman pesantren dibedakan menjadi dua: salaf dan modern. Pesantren salaf adalah pesantren yang hanya mengkaji ilmu-ilmu agama sedangkan pesantren modern selain mengkaji ilmu-ilmu agama juga memasukan pendidikan umum didalamnya.
Dalam perananya Pesantren menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya. Membentuk santri yang berkarakter dan mampu memecahkan segala persolan agama di masyarakat.

  1. PENUTUP
Hanya ini yang dapat penulis sampaikan, semoga bermanfaat bagi para pembaca. Jika masih banyak kesalahan dalam penulisan mohon saran dari para pembaca. Jika ada sesuatu yang menyinggung perasaan pembaca penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
[1] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm, 70
[2] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm, 70
[3] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm, 75-76
[4] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang: Rizki Putra, 2012), hlm, 122-123
[5] Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonasi Guru Sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm, 33
[6] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan islam Indonesia Abad ke-20, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm, 80
[7] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan islam Indonesia Abad ke-20, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm, 87
[8] Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonasi Guru Sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm, 39-40
[9] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm, 87
[10] HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar