Sejarah Berdiri dan Perkembangan Pondok Pesantren
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi: Tugas
Mata Kuliah : Manajemen Pendidikan Diniyah dan Pesantren
Dosen Pengampu : Dr. H. Fatah Syukur NC, M.Ag

DisusunOleh:
Maulana Arif Dzikrullah (133311080)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2014
- PENDAHULUAN
Fenomena lembaga pendidikan pondok pesantren sangat menarik, karena
pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia.
meskipun di daerah lain seperti Aceh atau Sumatera Barat menggunakan
istilah lain untuk menyebut pondok pesantren, tetapi esensinya sama.
Jika ada lembaga survey yang menghitung seluruh pondok pesantren
se-Indonesia mungkin ada beribu-ribu pondok pesantren, karena biasanya
dalam satu desa ada lebih dari satu pondok pesantren. Seperti di Desa
Air Emas, Singingi, Kuantan Singingi, Riau, ada dua lembaga pendidikan
pondok pesantren yakni Pondok Pesantren Bahrul Ulum dan Pondok Pesantren
Rodhotut Tholibin. Oleh sebab itu tidak afdol jika seorang mahasiswa
tidak mengetahui sejarah pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan
islam tertua di Indonesia.
- RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana Definisi Pondok Pesantren?
- Bagaimana Sejarah Pondok Pesantren?
- Bagaimana Perkembangan Pondok Pesantren?
- Apa Peranan Pondok Pesantren?
- PEMBAHASAN
- Definisi Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan di Indonesia. Jenis lembaga
pendidikan ini dapat dijumpai diberbagai wilayah Indonesia. Tidak heran
jika lembaga pendidikan ini memiliki beberapa sebutan lain. Di Sumatera
barat disebut ‘surau’ sementara di Aceh disebut ‘dayah’ atau ‘meunasah’.
Sebutan pesantren atau pondok pesantren pada mulanya hanya berlaku di
Jawa, meskipun sekarang ini sudah menjadi nomenklatur paling umum.
Penting diungkapkan bahwa sebagai lembaga pendidikan keislaman
tradisional, pesantren juga di temukan wilayah Asia Tenggara. Di
Thailand dan Malaysia untuk menyebut contoh lembaga pendidikan disebut pondok, Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari funduq (Arab)
yang berarti ruang tidur, wisma, atau hotel sederhana, karena pondok
memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang
jauh dari tempat asalnya.[1]
Pesantren berasal dari santri, yang berarti “terpelajar” (learned)
atau “ulama” (scholar). Jika santri menunjuk pada murid, maka pesantren
menunjuk kepada lembaga pendidikan. Jadi, pesantren adalah tempat
belajar bagi para santri. Pesantren disebut juga ‘pondok pesantren’.
Kedua sebutan ini sering kali digunakan secara bergantian dengan
pengertian yang sama. Menurut Greetz, pengertian pesantren diturunkan
dari bahasa India Shastri yang berarti ilmuan Hindu yang pandai
menulis, maksudnya adalah pesantren tempat bagi orang-orang yang pandai
membaca dan menulis. Greetz menanggap bahwa pesantren dimodifikasi dari
pura Hindu.[2]Kamus besar bahasa Indonesia
menyebut ‘pondok’ dan ‘pesantren’ dengan pengertian sama, yaitu “asrama
dan tempat murid-murid belajar mengaji’. Pendeknya, kedua sebutan
tersebut mengandung arti lembaga pendidikan islam yang didalamnya
terdapat unsur-unsur ‘kiai’ (pemilik sekaligus guru), ‘santri’ (murid),
‘masjid’ atau mushalla’ (tempat belajar), asrama (penginapan santri, dan
kitab-kitab klasik Islam (bahan pelajaran).[3]
Pesantren merupakan pendidikan Islam tertua di Indonesia. Kendatipun
sejarah tidak mencatat secara pasti, kapan munculnya pesantren pertama
kali di Indonesia, namun paling tidak lembaga ‘pesantren’ telah ada
ketika masa walisongo, sekitar abad 16-17 M., misalnya sebuah pesantren
yang didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Disamping itu juga
ada keterangan bahwa setelah raden Patah berguru kepada sunan Ampel,
kemudian ditugaskan menuju Glagah Wangi untuk mendirikan perguruan islam
atau pesantren. Namun sejauh ini belum terdapat keterangan yang pasti
tentang bagaimana bentuk pesantren yang ada pada waktu itu.[4]
- Sejarah Pondok Pesantren
Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai
di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama
kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang,
timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah
kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun
pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu
agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu
belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para
santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana.Mereka menempati sebuah
gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah
kyai.Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang
didirikan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok
pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal kemana-mana, contohnya
seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.
Tidak bisa dipungkiri pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia, meskipun masih banyak perbedaan pendapat tentang kapan munculnya pondok pesanten tersebut.
Tidak bisa dipungkiri pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia, meskipun masih banyak perbedaan pendapat tentang kapan munculnya pondok pesanten tersebut.
Hasil studi Ronald Alan Lukens Bull (1977), doctor yang menekuni
studi pondok pesantren asal Amerika, menunjukan bahwa sebagai lembaga
pendidikan islam, pondok pesantren pertama kali dirintis oleh syaikh
Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M untuk menyebarkan islam di Jawa.
Selanjutnya, dia menelusuri bahwa tokoh yang berhasil mendirikan dan
mengembangkan pondok pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Pertama kali didirikan pondok pesantren di kembangkuning dan waktu itu
hanya memiliki tiga orang santri, yaitu : Wiryo Suroyo, Abu Hurairah,
dan Kiai Bangkuning. Setelah itu pindah ke Ampel Denta Surabaya dan
mendirikan pondok pesantren, sehingga akhirnya dikenal dengan sebutan
Sunan Ampel. Selanjutnya , muncul pondok pesantren baru yang didirikan
oleh para santri dan putranya, seperti pondok pesantren Giri oleh Sunan
Giri, Pondok Pesantren Demak Oleh Raden Patah, dan Pondok Pesantren
Tuban oleh sunan Bonang.[5]
Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan sekomplek
sekarang. Pada masa awal, pesantren hanya berfungsi sebagai alat
islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni: ibadah
untuk menanamkan iman, tablig untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk
mewujudkan kegiatan sehari-hari.
Pesantren diperkirakan mengalami pertumbuhan pesat sebagai lembaga
pendidikan pada abad ke-19. Perkiraan ini didukung oleh dua informasi
beriut. Pertama, inspeksi pendidikan untuk pribumi oleh belanda
pada 1873 menyebutkan jumlah pesantren yang cukup besar, yaitu berkisar
pada angka 20.000 sampai 25.000 dengan jumlah santri sekitar 300.000
orang. Melihat besarnya jumlah pesantren tersebut tampaknya pendataan
mencakup semua tempat pembelajaraan, baik itu pesantren, nggon ngaji,
mushalla, dan sebgainya. Namun lepas dari akurasi angka tersebut,
kiranya dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu pesantren telah
terkonsolidasi sebagai lembaga pendidikan Islam. Kedua,
“catatan perjalanan” Snock Hurgronje pada abad ke-19 di beberapa wilayah
Indonesia. Catatan itu mengkorfirmasi adanya sejumlah pesantren yang
tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Snouck Hurgronje antara lain
mengunjungi Garut di Jawa Barat dan mencatat Pesantren Caringin (Haji
Muhammad Rafi’i), pesantren Sukaregang (Kiai Adrangi), dan pesantren
Kiara Koneng (Haji Muallim). Daerah lain di Jawa Barat dalah Cianjur,
Bandung, Bogor, Cirebon dan beberapa wilayah lain. Catatan perjalanan
ini juga merekam pesantren di berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Souck Hurgronje menemukan kenyataan bahwa sebagian pimpinan
pesantren pernah menuntut ilmu di Mekkah.[6]
Pesantren tidak mengenal sistem kelas. Tingkatan seorang santri
diukur dari jenis kitab yang dipelajari dan bidang-bidang keilmuan yang
dikaji. Biasanya kitab-kitab tasawuf menjadi tolok ukur senioritas
santri. Mahmud Yunus memerinci tingkatan pesantren pada zaman kerajaan
Mataram masa Sultan Agung kedalam empat kelompok besar. Pertama,
pengajian di tingkat desa yang hanya mengajarkan baca tulis huruf arab,
dan beberapa bagian al-Quran (juz amma). Kedua, pesantren dasar yang
menajarkan kitab-kitab elemneter. Ketiga, pesantren menengah yang
menawarkan kajian-kajian lebih luas. Keempat, dan pesantren takhassus
yang menawarkan kajian tingkat tinggi.
Dalam sistem pembelajaran pesantren, kitab-kitab elementer, khususnya
untuk “ilmu-ilmu alat” (nahwu dan shorof), harus dipelajari terlebih
dahulu sebelum meningkat pada bidang-bidang keilmuan lain seperti tafsir
Al-Quran, Hadis, dan Fiqh. Tasawuf yang sering dikaitkan dengan tarekat
tertentu, biasanya dipelajari pada tahap akhir. Pelajaran tentang
“ilmu-ilmu alat” biasanya dikombinasikan dengan kajian-kajian lain,
khususnya fiqh, yang sekaligus dijadikan sebagai media untuk mempratikan
kemampuan gramatikal yang dimiliki seorang santri.
Meskipun menganut penjenjangan berdasarkan kajian-kajian yang
dilakukan, pesantren tidak memberikan batas waktu tentang seberapa lama
seorang santri dapat dinyatakan tamat belajar. Terkadang seorang santri,
setelah mempelajari beberapa kitab saja di sebuah pesantren, kemudian
pindah ke pesantren lain, atau pulang ke kampung halaman. Tidak jarang
seorang santri merasa perlu menghabiskan sebagian besar usianya untuk
belajar di pesantren tertentu. Kebiasaan berpendah-pindah pesantren
bukan merupakan tradisi buruk dalam konteks pendidikan pesantren.
Sebaliknya, ini merupakan salah satu manisfestasi konsep rihlah ilmiyyah
(perjalanan mencari ilmu di lingkungan tradisi pembelajaran islam yang
dimungkinkan oleh karakter pesantren itu sendiri. Seorang kiai pemimpin
pesantren tertentu biasanya memiliki keahlian tertentu dalam bidang
keilmuan islam, seperti fiqh, hadis atau tafsir Al-Qura’an. Dalam
konteks pindah-pindanya santri itulah kemudian dikenal santri kelana.
Pada periode ini , pesantren tidak menerapkan sistem kelas, sistem
ujian, dan tidak memberikan ijazah.
Metode pembelajaran di pesantren biasanya menggunakan metode bandongan dan sorogan. Bandongan atau seringkali disebut weton
sekelompok santri mendengarkan kiai membaca, menterjemahkan,
menerangkan, dan mengulas kitab berbahasa arab. Santri menyimak dan Ma’nani (menulis
arti dibawah kata-kata dalam kitab yang sedang dibaca oleh kiai).
Karena sifatnya yang seringkali massal, dalam metode ini, santri tidak
dituntut untuk memahami dan menguasai penjelasan kiai. Bandongan sering kali di lakukan pada saat bulan ramadhan dengan mengkaji beberapa kitab klasik dengan cepat (kilat). Sorogan ,
dalam metode ini seorang santri akan membaca kitab tertentu dihadapan
kiai. Sementara itu kiai hanya akan memberikan koreksi yang bersifat
mendasar dan memberikan petunjuknya, khususnya berkaitan dengan cara
membaca dan memahami teks secara benar sesuai dengan struktur bahasa
arab. Dalam kerangka sorogan ini secara tidak langsung, pesantren
menanamkan semangat untuk belajar secara mandiri kepada santrinya.
Di samping itu, Musyawarah (diskusi) juga sering digunakan
sebagai metode penting di pesantren. Kiai atau santri senior memimpin
‘kelas musyawarah’ seperti dalam suatu seminar; proses pembelajaran
banyak dilakukan dalam bentuk Tanya jawab. Ini merupakan sarana latihan
bagi para santri untuk menguji keterampilanya dalam memahami
sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab islam klasik.[7]
Tradisi Btsul Masail di lingkungan NU yang berlangsung hingga sekarang
ini, mirip pembelajaran musyawarah yang berlangsung di pesantren.
Didalam batsul masail setiap peserta berusaha mengembangkan
argument-argumen yang berbasis kepada kitab-kitab klasik Islam untuk
memecahkan masalah actual yang muncul dimasyarakat.
Komponen utama pondok pesantren adalah: Kiai, Santri,
mushalla/Masjid, Pondok (sebagai tempat istirahat) kitab-kitab islam
klasik (kitab kuning).
Kiai dikenal sebagai guru atau pendidik utama di
pondok pesantren, karena kiailah yang selalu memberikan bimbingan,
pengarahan, dan pendidikan kepada para santri. Kiai pulalah yang
dijadikan figur ideal santri dalam proses pengembangan diri. Pendidik
lainya, yang biasa berstatus sebagai pembantu, dikenal dengan istilah
ustadz atau santri senior. Kiai, dalam pengertiam umum, adalah pendiri
pondok pesantren yang sebagai muslim terpelajar telah membaktikan
hidupnya demi Allah, menyebarluaskan serta memperdalam ajaran-ajaran dan
pandangan islam melalui kegiatan pendidikan.
Santri, adalah peserta didik yang belajar atau
menutut ilmu di pondok pesantren. Jumlah santri biasanya menjadi tolok
ukur perkembangan pondok pesantren. Manfred Ziemek (1986), membedakan
santri menjadi dua, yakni: santri mukim dan santri kalong. Santri mukim
adalah santri yang bertempat tinggal di pondok pesantren, sedang santri
kalong adalah santri yang tinggal di luar pondok pesantren dan yang
mengunjungi pondok pesantren secara teratur untuk belajar agama.
Termasuk dala kategori ini adalah mereka yang mengaji di langgar-langgar
atau masjid-masjid pada malam hari saja, sementara pada siang hari
mereka pulang rumah.
Masjid, adalah sebagi unsure yang tidak dapat
dipisahkan dengan pondok pesantren serta dianggap sebagai tempat yang
paling strategis untuk mendidik para santri, misalnya dalam praktik
salat berjamaah lima waktu, khutbah, sembahyang jum’at, dan
pengajian-pengajian kitab klasik.
Kitab-kitab Islam klasik, terutama karangan ulama
syafi’iyah, merupakan satu-satunya teks pengajaran formal yang diberikan
di lingkungan pondok pesantren. Tujuan utama pengajaran kitab ini
adalah untuk mendidik calon-calon ulama.[8]
- Perkembangan Pondok Pesantren
Pondok pesantren pada mulanya hanya mengkaji ilmu-ilmu agama saja.
Seiring perkembangan pendidikan di Indonesia, yang mewajibkan belajar
hingga Sembilan tahun (SD-SMP) pondok pesantren mulai mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan formal, tujuanya adalah agar para santri bisa
mengikuti perkembangan zaman. Akan tetapi masih banyak juga pesantren
yang hanya mempelajari ilmu-ilmu agama (salaf). Dibawah ini akan
dijelaskan mengenai pesantren salah dan khalaf (modern).
Pesantren Salaf
Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salafi. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja untuk kyai mereka – bisa dengan mencangkul sawah,
mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya – dan sebagai
balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut.Sebagian
besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para
santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya
sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu
sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh
di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu
siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada
waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustadz mereka
untuk memperdalam pelajaran agama dan al-Qur’an.
Menurut Zamakhasyari Dhofier, pesantren salaf adalah lembaga
pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik
(salaf) sebagai inti pendidikan. Sedangkan system madrasah ditetapkan
hanya untuk memudahkan system sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga
pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
System pengajaran pesantren salaf memang lebih sering menerapkan model sorogan dan weton. istilah weton
berasal dari bahasa jawa yang berarti waktu. Disebut demikian karena
pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu, biasanya
dilakukan sesudah melakukan salat fardhu.
System weton atau yang juga dikenal dengan sebutan bandongan adalah
model pengajian yang dilakukan seperti kuliah terbuka yang diikuti oleh
sekelompok santri. Sang kiai membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan
sekaligus mengulas kitab-kitab salaf berbahasa arab yang menjadi
acuanya. Sedangkan para santri mendengar dan memperhatikan kitabnya
sambil menulis arti dan keterangan tentang kata-kata atau pemikiran yang
sukar.
Termasuk dalam kelompok system bandongan atau weton ini adalah halaqoh, yaitu
model pengajian yang umumnya dilakukan dengan cara mengitari gurunya.
Para santri duduk melingkar untuk mempelajari dan mendiskusikan suatu
masalah tertentu dibawah bimbingan seorang guru.
Sedangkan pada system sorogan, para santri maju satu persatu
untuk membaca dan mengurai isi kitab dihadapan seorang guru atau kiai.
System ini sangat bagus untu mempercepat sekaligus mengevaluasi
penguasaan santri terhadap kandungan kitab yang dikaji. Akan tetapi
system ini membutuhkan kesabaran, ketekunan, ketaatan, dan kedisiplinan
yang tinggi dari para santri.
Selain dua system tersebut, pesantren salaf juga kerap menggunakan
model musyawarah. Biasanya materi sudah ditentukan lebih dulu dan para
santri dituntut menguasai kitab-kitab rujukan. Kiai memimpin kelas
musyawarah sebagaimana moderator memandu seminar. Model seperti ini
lebih bersifat dialogis, sehingga umumnya hanya diikuti oleh para santri
senior. Tujuanya untuk melatih dan menguji kemampuan dan keterampilan
para santri dalam menangkap dan memahami sumber-sumber argumentasi dan
kitab-kitab islam klasik (kitab kuning).
Akan tetapi dewasa ini kalangan pesantren termasuk pesantren salaf mulai menerapkan system madrasati atau
model klasikal. Kelas-kelas dibentuk secara berjenjang dengan tetap
memakai kurikulum dan materi pelajaran dari kitab-kitab kuning,
dilengkapi pelatihan keterampilan seperti menjahit, mengetik, budidaya
jamur, dan bertukang.
Kurikulum system madrasati pesantren salaf masih sangat
umum, tidak dirumuskan secara jelas dan terperinci. Akan tetapi yang
jelas, semua pelajaran tersebut telah mencakup segala aspek perbuatan
santri dalam sehari semalam. Kurikulum yang berhubungan dengan materi
pengajian berkisar pada ilmu-ilmu agama dengan segala bidangnya,
terutama pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa Arab (nawu, sharaf,
dan ilmu-ilmu lainya), ilmu yang berhubungan dengan syariat (ilmu fikih
ibadah dan muamalah), ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an
beserta tafsiran-tafsiranya, hadist dengan musthalahnya, dan ilmu
tauhid. Terkadang dilengkapi pula dengan ilmu mantiq (logika), tarikh
(sejarah, dan tasawuf untuk para santri senior.
Kendati demikian, tidak berarti ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan di
pesantren-peantren sama dan seragam. Pada umumnya, setiap pesantren
mempunyai penekanan atau cirri-ciri tersendiri dalam hal ilmu-ilmu yang
diberikan.
Dari sisi kelembagaan dan status pesantren, semua bangunan yang
berada di lokasi pesantren umumnya adalah milik kiai. Kiai adalah
pemilik dan penguasa tunggal di pesantren. Beliaulah yang menentukan
segala kebijakan yang berlaku didalamnya. Para ustadz dan pembantu
lainya berkedudukan sebagai tenaga operasional.
Oleh karena itu, kiai mempunyai kedudukan khusus. Ini karena dalam
pesantren salaf, segala bangunan pesantren dan pembiayaan pesantren
memang didanai dari uang pribadi kiai. Dialah yang mendirikan,
membangun, dan menghidupi jalanya kegiatan pesantren. Sehingga wajar
bila kiai mempunya pengaruh dan kekuasaan yang besar atas pesantrenya.
Sebagaimana kita lihat dalam sebuah perusahaan penanam saham terbanyak
adalah yang paling menentukan kebijakan perusahaan.
Pesantren Khalaf (Pesantren Modern)
Pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang memasukan pelajaran
umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang
menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMU, dan bahkan
perguruan tinggi dalam lingkunganya.
Akan tetapi, tidak berarti pesantren khalaf meninggalkan system
salaf. Ternyata hampir semua pesantren modern tetap menggunakan system
salaf dipondoknya. Misalnya,Pondok Pesantren “Bahrul Ulum”, Tambakberas.
Pesantren ini menyelenggarakan pendidikan formal yakni Madrasah
Al-Qur’an hingga Muallimin-Muallimat, dan dari SMP hingga Universitas
Bahrul Ulum. Akan tetapi di lingkungan pondoknya masih menerapkan system
salaf. Setiap selesai menuniakan shalat wajib, para santri menelaah
kitab Nihayatuz-Zain, Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Fathul Wahhab, Fathul
Mu’in, Tafsir Munir, dan sebagainya dengan system weton atau sorogan.
Dibandingkan dengan pesantren salaf, pesantren khalaf mengantongi
satu nilai plus karena lebih lengkap materi pendidikanya yang meliputi
pendidikan agama dan umum. Para santri pesantren khalaf diharapkan lebih
mampu memahami aspek-aspek keagama dan keduniaan agar dapat
menyesuaikan diri secara lebih baik dengan kehidupan modern daripada
alumni salaf.
Meskipun begitu, hendaklah jangan diartikan bahwa pesantren khalaf
lebih bermutu daripada pesantren salaf. Ini karena dengan masuknya
ilmu-ilmu umum dan berbagai keterampilan ke pesantren, bila tidak
waspada, identitas asli pesantren sebagai lembaga pencetak ulama serta
pengembang, penyebar, dan pelestari ajaran-ajaran islam akan memudar.
Kegiatan pendalaman ajaran islam akan tergeser oleh kegiatan-kegiatan
lain yang sebenarnya lebih cocok dilakukan oleh lembaga lain.
Dikhawatirkan pada akhirnya pesantren tidak berbeda dengan
lembaga-lembaga pendidikan umum. Bila hal itu sampai terjadi, maka
pesantren yang memasukan ilmu-ilmu umum dan berbagai keterampilan akan
rugi dan tidak dipandang lagi oleh masyarakat.
Kondisi pesantren salaf dan khalaf di Indonesia berbeda dengan
pesantren di Negara-negara islam yang lain. Misalnya di mekkah dan
madinah, syekh (kiai) menetap di kota dan mengajarkan ilmu-ilmu agama di
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Para santri yang dating dari jauh
menetap di koloni-koloni atau menyewa tempat tinggal di dekat gurunya,
yang biasanya memang tersedia cukup banyak. Begitu pula di al-Azhar,
Kairo, Mesir. Berbeda dengan pesantren, al-Azhar bermula dar system
pendidikan masjid tradisional. Pemerintah memegang inisiatif penting
dalam pembangunan lembaga pendidikan al-Azhar, tetapi kemudian menjadi
instansi milik masyarakat sepenuhnya.
Pentingya pondok pesantren sebagai asrama para santri bergantung pada
jumlah santri yang dating dari daerah jauh. Pada pesantren kecil, yang
kebanyakan santrinya tidak berasal dari daerah jauh, banyak santri yang
menetap di rumahnya sendiri. Mereka menggunakan pesantren untuk belajar
aatu kegiatan lain yang terkait. Sedangkan di pesantrren besar seperti
Pesantren Tambakberas Jombang, para santri tidak boleh menetap di luar
komplek pesantren, kecuali yang berasal dari desa-desa sekitarnya.
Alasanya , agar kiai dapat mengawasi dan menguasai mereka secara mutlak.
Ini karena kiai tidak hanya berfungsi sebagai guru yang mentransfer
ilmu, tetapi juga pengganti orang tua yang bertanggung jawab terhadap
pembinaan perilaku dan moral santri.[9]
- Peranan Pondok Pesantren
Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam.Namun,
dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah
garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertical
(dengan penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas
horizontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada
kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kekinan masyarakat (society-based curriculum).
Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai
lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial
yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di
sekitarnya.[10]
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan
produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak
Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan
yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai
lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok
pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan
sejarah bangsa. Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para
santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern
membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika
dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis,
pesantren modern jauh lebih murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang
paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.
- KESIMPULAN
pesantren adalah tempat belajar bagi para santri. pesantren pertama
kali dirintis oleh syaikh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M untuk
menyebarkan islam di Jawa. Selanjutnya, dia menelusuri bahwa tokoh yang
berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren adalah Raden
Rahmat (Sunan Ampel).
Karena perkembangan zaman pesantren dibedakan menjadi dua: salaf dan
modern. Pesantren salaf adalah pesantren yang hanya mengkaji ilmu-ilmu
agama sedangkan pesantren modern selain mengkaji ilmu-ilmu agama juga
memasukan pendidikan umum didalamnya.
Dalam perananya Pesantren menjadi lembaga sosial yang hidup yang
terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.
Membentuk santri yang berkarakter dan mampu memecahkan segala persolan
agama di masyarakat.
- PENUTUP
Hanya ini yang dapat penulis sampaikan, semoga bermanfaat bagi para
pembaca. Jika masih banyak kesalahan dalam penulisan mohon saran dari
para pembaca. Jika ada sesuatu yang menyinggung perasaan pembaca penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
[1] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm, 70
[2] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm, 70
[3] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm, 75-76
[4] Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang: Rizki Putra, 2012), hlm, 122-123
[5] Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonasi Guru Sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm, 33
[6] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan islam Indonesia Abad ke-20, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm, 80
[7] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan islam Indonesia Abad ke-20, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm, 87
[8] Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonasi Guru Sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm, 39-40
[9] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm, 87
[10] HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar